Maya

Maya
Who am I.?

Kamis, 27 November 2014

Navigasi Kebenaran, Harus !

Prinsip merupakan suatu pegangan yang harus di pegang secara erat, tidak boleh di ubah walaupun dalam keadaan apapun. Menurut kamus bahasa indonesia, prinsip adalah asas, kebenaran yang jadi pokok dasar orang berfikir, bertindak, dan sebagainya. Prinsip layaknya sebuah peta, yang mana dapat mengarahkan kita, baik dalam suatu posisi yang mengenakan maupun saat kita berada dalam suatu hal yang tidak mengenakan.
Dalam hidup, seseorang yang memiliki prinsip pasti akan memiliki suatu pondasi yang kuat dalam menjalankan hidupnya agar tidak melenceng. Begitu pun dalam dunia jurnalistik, yang mana prinsip itu sangat perlu di pegang oleh seorang jurnalis dalam melakukan tugasnya. Prinsip haruslah di jaga dalam keadaan sulit sekali pun.
Ada sejumlah prinsip dalam dunia jurnalisme yang sepatutnya menjadi pegangan setiap  jurnalis. Prinsip-prinsip ini merupakan pondasi yang harusnya di pertahankan dan menjadi panutan oleh setiap jurnalis. Salah satu dari 9 elemen jurnalistik yakni ”Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran”. Bentuk kebenaran di sini merupakan suatu kebenaran yang fungsional, yang mana bukan hanya suatu akurasi.
Dari Zaid Ibn Wahab ia berkata : “Seseorang mendatangi Ibn Mas’ud, lalu berkata : Orang ini jenggotnya meneteskan khamr. Lantas Abdullah berkata : Kami melarang untuk melakukan mata-mata dan jika kami melihat sesuatu (kemungkaran), maka kami akan meyampaikannya” (HR. Abu Dawud no. 4890\Bab Maa Ja’a fi Qaul bil Ma’ruf).
Hadis tersebut juga berlaku bagi seorang jurnalis yang mana apabila ia melihat suatu kesalahan, maka dia juga harus menyampaikannya, meskipun itu menyangkut golongan yang mayoritas. Jurnalis hendak menyampaikan suatu dengan kembali ke dalam hati nuraninya yang mana di dalamnya ada suatu kebenaran. Apabila seorang jurnalis dalam suatu keadaan yang genting sekalipun, kebenaran itu harus tetap di tegakan.
Hadis riwayat muslim juga mengatakan "Dan sampaikanlah satu ayat, sekalipun terdengar pahit, karena sesungguhnya tidak ada ayat yang tidak baik." (HR. Muslim). Melihat dari hadis ini, suatu kebenaran memanglah harus di tegakan dalam konteks apapun. Karena sepahit apapun suatu kebenaran pasti mengandung kebaikan di dalamnya. Kita hidup di negara indonesia, yang mana ada hukum yang mengatur tennang hak kita untuk menyampaikan sesuatu sesuai dengan hati nurani kita.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 I ayat 1 di jelaskan “Hak untuk hidup, hak untuk tidak di siksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak di perbudak, hak untuk di akui sebagai pribadi di muka hukum, dan hak untuk tidak di tuntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat di kurangi dalam keadaan apapun”.
Hal itu jelas sekali di tekankan, sebagai seorang warga negara kita mempunyai payung perlindungan hukum yang apabila seorang jurnalis mendapatkan suatu ketidak adilan dalam penyampaian kebenaranannya mendapatkan perlakuan yang menyimpang dari hak asasi manusia, seperti halnya di perbudak untuk mengungkapkan sesuatu yang tidak sesuai oleh penguasa atau golongan mayoritas.
Melihat keadaan media yang semakin hari semakin parah, dengan segala konstruksi sosial di dalam media itu sendiri. Menjadikan masyarakat menjadi sulit membadakan mana kebenaran yang sesungguhnya dan mana yang merupakan kebohongan. Media massa sekarang ini perlu di pertanyakan kembali mengenai peran serta fungsi media sebagai penyampai informasi, yang di dalamnya di tekankan bahwa kebenaranlah hal yang paling utama.
Sebagai salah satu contoh yang paling ketara saat kampanye pemilihan presiden berlangsung. Media massa sulit di bedakan mengenai mana yang benar dan mana yang kurang tepat. Banyak media yang di kuasai oleh kaum kapitalis untuk kepentingan pribadi dan untuk mendongkrak perolehan suara calon presiden yang di usungnya menang dalam pemilu. Hal ini semata-mata agar calon yang di dukungnya menang dalam pemilu, sangat ironi sekali.


Sabtu, 21 Juni 2014

Pelajaran dari seorang Gundik

       Nyai Ontosoroh, seorang gundik yang memegang Boerderij Buitenzorg (Belanda) : Perusahaan Pertanian sedikit banyak menginspirasiku saat terlarut dalam kesedihan. Terus terang kekaguman serta semangat kembali muncul ketika melihat tokoh satu ini. Nyai Ontosoroh yang mempunyai dua orang anak hasil peranakan dari seorang Nederland, "Tuan Besar Kuasa Herman Mellema". Nyai Ontosoroh merupakan seorang Pribumi yang sejauh ini masih ku pandang sebagai tokoh yang menginspirasi. Tekadnya agar tidak terlarut dan bergantung pada suatu keadaan apapun membuatku kembali berpikir tentang langkah yang aku tempuh. Biarpun dulu tuan Mellema begitu baik dan memperlakukan dia sebagai seorang yang di sayangi namun dia tidak mau bergantung terhadap tuan Mellema. Dia tetap memikirkan kemungkinan terberat dalam hidupnya jika suatu saat keadaan sudah berganti ataupun tuan Mellema pulang ke Negeri asalnya Nederland. Poin yang dapat saya ambil dari secuplik sikap yang di punyai tokoh Nyai Ontosoroh adalah jangan terlalu berlarut dalam keadaan yang menghancurkan. 
       Ketika Nyai Ontosoroh di jual kepada Tuan Besar Kuasa oleh ayahnya yang seorang jurutulis "Sastrotomo" sejatinya mengorbankan dia demi suatu pangkat yang lebih tinggi yakni jurubayar (kassier pemegang kas pabrik gula Tulangan, Sidoarjo). Nyai Ontosoroh  mencoba berpikir dan tetap tegar dengan polemik yang menimpanya. Namun satu yang tidak saya setujui dari tokoh ini, bagaimana pun keadaannya, seorang ayah tetaplah ayah, biarpun dia bersikap seolah seperti binatang, dia tetaplah lelaki yang berjasa dalam hidupnya. Rasa benci yang di miliki oleh Nyai Ontosoroh sebisa mungkin tidak aku ambil dari tokoh satu ini. Memang yang namanya hati itu terkadang mempunyai penyakit yang memang sulit di binasakan dalam jangka pendek. Bagiku juga demikian, memaafkan orang yang sudah berbuat salah (sangat mendalam) sulit untuk di hilangkan. Terus terang orang tua ku tidak mengajarkanku untuk membenci sesama, dan aku juga tak akan membenci dalam hidupku, namun yang namanya memaafkan secara ikhlas itu belum bisa aku lakukan. 
        Kharismatik dari tokoh Nyai Ontosoroh yang merupakan perempuan Pribumi Jawa yang menjadi Nyai Tuan Eropa sangat menyesankan. Dia mengambil suatu pelajaran berharga dari kehidupannya bersama Herman Mellema yang melahirkan seorang putra Robert Mellema dan seorang bidadari bernama Annelies Mellema. Perwatakan antara kakak beradik ini sangat berbeda, Robert yang lebih bangga denga Eropanya sedangkan Annelies yang lebih suka dengan Pribumi Jawa. Sifatnya juga jauh berbeda, Robert lebih suka di hormati sebagai orang yang berkuasa sedangkan Annelies yang memiliki sikap seperti anak kecil namun sangat giat dalam melaksanakan pekerjaan yang di pasrahkan oleh Nyai Ontosoroh.
       Dan sejauh ini, saya masih tertarik dengan karakter yang di usung tokoh Nyai Ontosoroh, seberat dan sebesar apapun keadaan yang menghimpitnya, dia tetap mau belajar memperbaiki diri, demi dirinya beserta anaknya. Meskipun dia hanya dianggap sebagai Nyai serta Pribumi yang di pandang hina ataupun tidak memiliki harga diri, dia tetap ingin bangkit dan belajar terus menerus. Baginya keluarga (anak-anaknya) lebih penting dari segalanya. Mungkin aku juga harus demikian, memperkuat hati dengan suatu pengalaman yang menyakitkan dan menjadikan itu semua cambuk demi kehidupan yang jauh lebih baik lagi. Memang tidak mudah menghadapi itu semua sendirian, namun sebuah ketergantungan terhadap makhluk haruslah di hilangkan. Sebesar apapun itu, menuntut untuk menghadapinya sendirian.