Maya

Maya
Who am I.?

Selasa, 05 Juni 2018


Memfeodalkan Diri Sendiri
(Sikap Kaum Muda yang tak jauh beda dengan Kaum Tua sebelum Mereka)

“Sesungguhnya, manusia hidup harus mengerti tentang keduaan. Manusia harus menuju titik gelap, untuk mengerti cahaya. Manusia harus mengerti lapar, untuk mengenali kenyang. Untuk memahami kebenaran, harus mengerti kesalahan.”

          Kaum pelajar. Kaum pelajar sesungguhnya telah mengerti menyoal tentang tehnik dan metode maupun terapan apapun yang ada di masyarakat. Mereka banyak mempelajari tentang ilmu, baik politik, agama, norma, budaya, sejarah dan yang lainnya. Namun, diantara pelajar-pelajar tersebut, hanya sedikit yang sampai pada titik kesadaran. Diantara yang sadar tersebut, sedikit pula yang mau melakukan perubahan. Kemudian diantara yang mau melakukan perubahan, sedikit pula yang konsisten terhadap apa yang sudah mereka pelajari, kebanyakan mereka lemah dalam stamina juang.

          Sudah banyak kiranya kita dapati, seorang pelajar yang pandai dan mumpuni bersua soal politik, sejarah, budaya yang mengakar dalam masyarakat. Salah satunya tentang budaya feodal, mentuhankan manusia lainnya dengan tetek-bengek, iming-iming kekuasaan, tentang darah, tentang tahta, bahkan tentang pembagian hukum antara yang tua dan muda. Tentang kualitas siapa saja yang lebih kaya, berumur,  berkuasa, segala hal yang diangap meletakan seseorang atau suatu kelompok pada tinggi derajat dibanding yang lain. Sesungguhnya, yang ada tinggi rendah hanya terletak pada nilai, bukan pada siapa manusia itu. Semua manusia pada hakekatnya sama.

          Sesuatu yang sungguh sangat ironi, ilmu yang telah dipelajari dan dieluh-eluhkan manakala dia sedang berada di Perguruan Tinggi pada akhirnya akan dihianati pula. Kebanyakan dari sedikit kaum pelajar yang sadar akan, (semisal budaya feodal) yang dulu mereka perangi pada akhinya dia akan menyerah pasrah pada hukum alam yang sudah mendarah daging di masyarakat. Tentang kebutuhan yang tua harus menghormati yang muda, yang muda tidak boleh membangkang tentang tata serta skat atas kemudaan mereka terhadap yang tua. Yang tua harus dijunjung dan tidak boleh dilawan sedikitpun.

          Benih-benih mendewaan terhadap kaum tua tersebut sesungguhnya sudah terjadi dalam tingkat yang paling rendah disekitaran kaum pelajar. Kita sebut saja dalam ruang organisasi. Di dalam ruang tersebut, sebelum kaum pelajar baru ikut keanggotaan, pasti sudah terdapat kaum pelajar lama. Sebelum kaum pelajar muda, tentu ada kaum pelajar tua. Sebelum adanya kaum muda junior (sebuah istilah), pasti akan ada kaum pelajar senior. Dan senior-senior tersebut dari awal memang sudah punya niat untuk di dewakan. Bahkan, pada saat masa orientasi pertama, mereka tidak ubahnya dari Tuhan, bahwa adanya hukum senior tidak pernah salah. Jika mereka salah akan kembali ke awal, bahwa senior tidak pernah mau disalahkan dan tak pernah salah.

          Apa sebab kaum pelajar tersebut ikut arus, larut bahkan nantinya akan menjadi pejuang kefeodalan selanjutnya? Mereka tidak tahan akan ideologi yang dianut. Pada akhirnya, mereka hanya akan menjadi suatu penunggu. Mengunggu yang tua mati untuk ganti menduduki kursi, tidak ada perubahan. Tidak lebih, dia nantinya juga akan menjadi kaum yang membuntukan pikiran kaum muda berikutnya (mereka akan menjadi pelaku pengkesetan terhadap kaum muda setelah mereka). Mereka juga akan ganti minta dijunjung seperti kaum tua sebelum mereka.

          Jika kita meminjam apa yang sudah di tulis oleh Emha Ainun Nadjib, buku Arus Balik (2015), telah dijelaskan apa sebab menghilangnya dan ikut larutnya sedikit kaum terpelajar yang sadar akan keadaan dalam masyarakat tadi.

          Pertama, tentang kebusukan yang ada dimasyarakat memang sudah mencapai pada titik paling busuk, mereka tidak sanggup lagi untuk membenarkan.

          Kedua, masyarakat memang sudah bahagia dan sejahtera (dalam arti sesungguhnya) sehingga memang tidak diperlukan lagi adanya kesadaran apapun.

          Ketiga, tentang adanya kesemuan dalam keselarasan (Pseudoharmoni). Pseudoharmoni ini sangatlah halus, mereka sudah merasa selaras padahal pada hakekatnya terdapat penghianatan dibelakang punggung mereka.

          Keempat, adalah sebuah titik yang sangat banyak dijumpai, hilangnya kepercayaan diri kaum pelajar untuk pembebasan. Tidak ada sedikit dari kaum pelajar yang sadar tersebut yang berani maju, menjadi pahlawan pembebasan, sehingga sikap yang akan mereka lakukan adalah sinis.


Minggu, 21 Januari 2018

Perjalanan Spiritual
(Menyoal Cita dari Ksatria Bima)

“Memaknai hidup bukan manakala perut kita hidup, namun juga pada saat apa yang ada diotak kita, yang ada di hati kita serta apa yang ada disekitar kita turut merasakan kehidupan.”

            Ujian!  Dan sesungguhnya ujian itu ada bukan pada saat kita dihadapi oleh masalah. Melainkan manakala kita berada dalam titik kenyamanan (titik yang membuat kita terlena, berhenti sejenak). Dalam titik kenyamanan tersebut kadang membuat seseorang telat berpikir serta stagnan dalam mengejar apa yang diidamkan dalam hidup. Nyaman membuat seseorang malas berpikir mengenai langkah apa yang akan dia lakukan berikutnya..
            Sejalan dengan hal tersebut, dapat kiranya kita berkaca pada diri seorang Bima, ksatria dari negeri Ngamarta, negeri yang terkenal Gemah Ripah Loh Jinawi (subur makmur tak kurang apapun). Kenyamanan saat berada di negerinya, serta tentang apa yang telah dimilikinya tidak lantas membuat Bima berhenti bercita-cita. Jika dilihat, Bima adalah seorang ksatria yang sudah sakti mandraguna, memiliki banyak ajimat, Kuku Pancanaka, Aji Bandung Bandawasa, Aji Ngungkal Bener. serta Aji Blabak Pangantol-Antol. Dia juga sudah memiliki segalanya (Istri yang cantik, anak yang kuat serta negeri yang mashur), tapi dia masih memiliki cita-cita mulia, yakni mencari kesempurnaan diri.
            Kesempurnaan tersebut tidak akan dia dapatkan tanpa terlebih dahulu melakukan pendalaman terhadap dirinya sendiri. Berapapun jumlah musuh yang sudah dikalahkan, Bima tidak akan pernah menemukan jati dirinya tanpa dia menyelam ke kedalaman dirinya. Memahami tahap demi tahap untuk mencari kesempurnaan apa yang diinginkan diri, atau bisa disebut kesejatian.
            Oleh karenanya, Bima pun menghadap gurunya, Resi Durna. Lantas, sang guru pun menyuruh Bima mencari Ngelmu Sangkan Paraning Dumadi (Ilmu Asal Kejadian, Ilmu Ketuhanan). Namun, sebelum itu, Bima harus mencari simbol Ilmu Ketuhanan (Kayu Gung Susubing) serta Air Kehidupan (Tirta Pawitrasari atau Perwita Suci) terlebih dahulu. Mendengar perintah tersebut, lalu bergegaslah Bima ke sebuah sumur tua yang berada di Gua Durangga, sumur yang terkenal angker dan siapapun yang memasuki kawasan tersebut bisa dipastikan tidak akan kembali. Di sumur tua itu, Bima di hadang oleh seekor Naga sakti, dan dengan sigapnya Bima dapat mengatasinya tanpa terluka sedikitpun. Kemudian, Bima bertanya-tanya mengenai dimanakah letak ilmu yang dimaksud oleh gurunya.  
            Setelah berapa lama, Bima baru manyadari bahwa sumur tersebut hanyalah sebuah ibarat mengenai suatu kegelapan, kefanaan, yang pertama harus dihadapi. Sedangkan Naga adalah simbol nafsu amarah, kedengkian, serta kejahatan pada diri Bima. Hal ini melambangkan bahwa ketika manusia berada dalam suatu kegelapan dan kefanaan, dia tidak boleh terlena dan terjun dalam kefanaan tersebut. Dia harus mencari titik terang dengan cara mengalahkan amarahnya sendiri.
            Seseorang tidak akan dapat keluar dari belenggu kegelapan tanpa terlebih dahulu Intropeksi diri dan menghadapi angkara yang muncul pada dirinya sendiri. Jika dalam hal ini seseorang terlena dalam kefanaan, maka dendam serta perbuatan jahatlah yang akan dia lakukan. Bima pun mampu memetik pelajaran mengenai apa yang baru saja dia hadapi.
            Setelah merasa bahwa di sumur tersebut Bima tidak mendapatkannya apa yang diperintahkan oleh gurunya, lantas dia pergi ke Gunung Chandradimuka. Gunung tersebut juga terkenal banyak penunggunya, baik jin maupun binatang buas. Bima tidak gentar dengan hal tersebut, dengan nyali seorang ksatria yang “Pantang mati sebelum berperang”, Bima bergegas ke gunung tersebut. Disana dia mendapati dua Raksasa besar, Rukmaka dan Rukmakala. Dengan tekad yang kuat, meskipun harus berperang mati-matian, Bima pun mampu menghadapinya dengan baik.
            Jika diibaratkan, kedua Raksasa tersebut merupakan cobaan dari luar diri manusia. Tidak ada suatu kesempurnaan tanpa adanya suatu ujian. Hal tersebut melambangkan bahwa hanya seseorang yang memiliki tekad kuat dan semangat tinggi yang dapat mengalahkan godaan yang dapat mencapai cita-cita yang inginkan. Cobaan yang dimaksud adalah tentang apa yang ada disekitar manusia, tentang lingkungan. Di dalam mencapai cita-cita, seseorang pasti akan mendapatkan hambatan, baik dari lingkungannya, maupun saat-saat tersulit meraih cita-cita tersebut. Akhirnya, Bima juga sadar bahwa hambatan bukan hanya datang dalam dirinya, namun juga dari apa yang ada disekitarnya.
            Setelah mengetahui bahwa ilmu yang dimaksud gurunya tidak ia dapatkan di Gunung Chandradimuka, lalu Bima mencarinya ke dasar samudra. Setelah berada di dasar samudra, Bima menemukan sesosok kecil yang mirip dirinya. Sosok kecil tersebut meminta Bima untuk masuk ke dalam telinganya, hal yang sangat tidak mungkin karena ukuran tubuh Bima yang sangat besar. Setelah berdialog panjang dengan sosok kecil tersebut, Bima lantas menurutinya, dan apa yang dia dapatkan? Setelah keluar dari tubuh sosok kecil tersebut, Bima yang biasanya menggunakan bahasa ngoko (bahasa kasar) menjadi berbahasa krama (bahasa sopan).
            Lantas apa yang dapat dipetik dari pencarian Bima di dasar samudra tersebut? Sosok kecil tersebut diibaratkan seperti jati dirinya sendiri, yang mana apapun yang akan dicari oleh manusia hanya dapat ditemukan dalam kedalaman dirinya sendiri. Samudra diibaratkan seperti kesadaran terdalam seseorang. Dan berapapun ilmu yang dicari, serta kekuatan yang diinginkan tidak akan dapat ditemukan tanpa  menggunakan hatinya yang terdalam. Baik nafsu, cita-cita, cinta, ilmu apapun itu, tidak akan sempurna tanpa seseorang menggunakan pertimbangan nurani. Hal tersebut melambangkan bahwa kesempurnaan seseorang bisa diperoleh ketika dirinya memang sudah merasa cukup dalam dirinya. Hal itu yang membuatnya tenang dengan apa yang telah dia dapatkan.
     

Jogja, 20 Januari 2018

*Saat hening, rinai pagi Jogja, petuah dari lorong keteladanan