Maya

Maya
Who am I.?

Minggu, 21 Januari 2018

Perjalanan Spiritual
(Menyoal Cita dari Ksatria Bima)

“Memaknai hidup bukan manakala perut kita hidup, namun juga pada saat apa yang ada diotak kita, yang ada di hati kita serta apa yang ada disekitar kita turut merasakan kehidupan.”

            Ujian!  Dan sesungguhnya ujian itu ada bukan pada saat kita dihadapi oleh masalah. Melainkan manakala kita berada dalam titik kenyamanan (titik yang membuat kita terlena, berhenti sejenak). Dalam titik kenyamanan tersebut kadang membuat seseorang telat berpikir serta stagnan dalam mengejar apa yang diidamkan dalam hidup. Nyaman membuat seseorang malas berpikir mengenai langkah apa yang akan dia lakukan berikutnya..
            Sejalan dengan hal tersebut, dapat kiranya kita berkaca pada diri seorang Bima, ksatria dari negeri Ngamarta, negeri yang terkenal Gemah Ripah Loh Jinawi (subur makmur tak kurang apapun). Kenyamanan saat berada di negerinya, serta tentang apa yang telah dimilikinya tidak lantas membuat Bima berhenti bercita-cita. Jika dilihat, Bima adalah seorang ksatria yang sudah sakti mandraguna, memiliki banyak ajimat, Kuku Pancanaka, Aji Bandung Bandawasa, Aji Ngungkal Bener. serta Aji Blabak Pangantol-Antol. Dia juga sudah memiliki segalanya (Istri yang cantik, anak yang kuat serta negeri yang mashur), tapi dia masih memiliki cita-cita mulia, yakni mencari kesempurnaan diri.
            Kesempurnaan tersebut tidak akan dia dapatkan tanpa terlebih dahulu melakukan pendalaman terhadap dirinya sendiri. Berapapun jumlah musuh yang sudah dikalahkan, Bima tidak akan pernah menemukan jati dirinya tanpa dia menyelam ke kedalaman dirinya. Memahami tahap demi tahap untuk mencari kesempurnaan apa yang diinginkan diri, atau bisa disebut kesejatian.
            Oleh karenanya, Bima pun menghadap gurunya, Resi Durna. Lantas, sang guru pun menyuruh Bima mencari Ngelmu Sangkan Paraning Dumadi (Ilmu Asal Kejadian, Ilmu Ketuhanan). Namun, sebelum itu, Bima harus mencari simbol Ilmu Ketuhanan (Kayu Gung Susubing) serta Air Kehidupan (Tirta Pawitrasari atau Perwita Suci) terlebih dahulu. Mendengar perintah tersebut, lalu bergegaslah Bima ke sebuah sumur tua yang berada di Gua Durangga, sumur yang terkenal angker dan siapapun yang memasuki kawasan tersebut bisa dipastikan tidak akan kembali. Di sumur tua itu, Bima di hadang oleh seekor Naga sakti, dan dengan sigapnya Bima dapat mengatasinya tanpa terluka sedikitpun. Kemudian, Bima bertanya-tanya mengenai dimanakah letak ilmu yang dimaksud oleh gurunya.  
            Setelah berapa lama, Bima baru manyadari bahwa sumur tersebut hanyalah sebuah ibarat mengenai suatu kegelapan, kefanaan, yang pertama harus dihadapi. Sedangkan Naga adalah simbol nafsu amarah, kedengkian, serta kejahatan pada diri Bima. Hal ini melambangkan bahwa ketika manusia berada dalam suatu kegelapan dan kefanaan, dia tidak boleh terlena dan terjun dalam kefanaan tersebut. Dia harus mencari titik terang dengan cara mengalahkan amarahnya sendiri.
            Seseorang tidak akan dapat keluar dari belenggu kegelapan tanpa terlebih dahulu Intropeksi diri dan menghadapi angkara yang muncul pada dirinya sendiri. Jika dalam hal ini seseorang terlena dalam kefanaan, maka dendam serta perbuatan jahatlah yang akan dia lakukan. Bima pun mampu memetik pelajaran mengenai apa yang baru saja dia hadapi.
            Setelah merasa bahwa di sumur tersebut Bima tidak mendapatkannya apa yang diperintahkan oleh gurunya, lantas dia pergi ke Gunung Chandradimuka. Gunung tersebut juga terkenal banyak penunggunya, baik jin maupun binatang buas. Bima tidak gentar dengan hal tersebut, dengan nyali seorang ksatria yang “Pantang mati sebelum berperang”, Bima bergegas ke gunung tersebut. Disana dia mendapati dua Raksasa besar, Rukmaka dan Rukmakala. Dengan tekad yang kuat, meskipun harus berperang mati-matian, Bima pun mampu menghadapinya dengan baik.
            Jika diibaratkan, kedua Raksasa tersebut merupakan cobaan dari luar diri manusia. Tidak ada suatu kesempurnaan tanpa adanya suatu ujian. Hal tersebut melambangkan bahwa hanya seseorang yang memiliki tekad kuat dan semangat tinggi yang dapat mengalahkan godaan yang dapat mencapai cita-cita yang inginkan. Cobaan yang dimaksud adalah tentang apa yang ada disekitar manusia, tentang lingkungan. Di dalam mencapai cita-cita, seseorang pasti akan mendapatkan hambatan, baik dari lingkungannya, maupun saat-saat tersulit meraih cita-cita tersebut. Akhirnya, Bima juga sadar bahwa hambatan bukan hanya datang dalam dirinya, namun juga dari apa yang ada disekitarnya.
            Setelah mengetahui bahwa ilmu yang dimaksud gurunya tidak ia dapatkan di Gunung Chandradimuka, lalu Bima mencarinya ke dasar samudra. Setelah berada di dasar samudra, Bima menemukan sesosok kecil yang mirip dirinya. Sosok kecil tersebut meminta Bima untuk masuk ke dalam telinganya, hal yang sangat tidak mungkin karena ukuran tubuh Bima yang sangat besar. Setelah berdialog panjang dengan sosok kecil tersebut, Bima lantas menurutinya, dan apa yang dia dapatkan? Setelah keluar dari tubuh sosok kecil tersebut, Bima yang biasanya menggunakan bahasa ngoko (bahasa kasar) menjadi berbahasa krama (bahasa sopan).
            Lantas apa yang dapat dipetik dari pencarian Bima di dasar samudra tersebut? Sosok kecil tersebut diibaratkan seperti jati dirinya sendiri, yang mana apapun yang akan dicari oleh manusia hanya dapat ditemukan dalam kedalaman dirinya sendiri. Samudra diibaratkan seperti kesadaran terdalam seseorang. Dan berapapun ilmu yang dicari, serta kekuatan yang diinginkan tidak akan dapat ditemukan tanpa  menggunakan hatinya yang terdalam. Baik nafsu, cita-cita, cinta, ilmu apapun itu, tidak akan sempurna tanpa seseorang menggunakan pertimbangan nurani. Hal tersebut melambangkan bahwa kesempurnaan seseorang bisa diperoleh ketika dirinya memang sudah merasa cukup dalam dirinya. Hal itu yang membuatnya tenang dengan apa yang telah dia dapatkan.
     

Jogja, 20 Januari 2018

*Saat hening, rinai pagi Jogja, petuah dari lorong keteladanan