Perjalanan
Spiritual
(Menyoal Cita dari Ksatria Bima)
“Memaknai hidup bukan manakala perut kita hidup,
namun juga pada saat apa yang ada diotak kita, yang ada di hati kita serta apa
yang ada disekitar kita turut merasakan kehidupan.”
Ujian! Dan sesungguhnya ujian itu ada bukan pada
saat kita dihadapi oleh masalah. Melainkan manakala kita berada dalam titik
kenyamanan (titik yang membuat kita terlena, berhenti sejenak). Dalam titik
kenyamanan tersebut kadang membuat seseorang telat berpikir serta stagnan dalam
mengejar apa yang diidamkan dalam hidup. Nyaman membuat seseorang malas
berpikir mengenai langkah apa yang akan dia lakukan berikutnya..
Sejalan
dengan hal tersebut, dapat kiranya kita berkaca pada diri seorang Bima, ksatria
dari negeri Ngamarta, negeri yang terkenal Gemah Ripah Loh Jinawi (subur
makmur tak kurang apapun). Kenyamanan saat berada di negerinya, serta tentang
apa yang telah dimilikinya tidak lantas membuat Bima berhenti bercita-cita. Jika
dilihat, Bima adalah seorang ksatria yang sudah sakti mandraguna, memiliki
banyak ajimat, Kuku Pancanaka, Aji Bandung Bandawasa, Aji Ngungkal Bener.
serta Aji Blabak Pangantol-Antol. Dia juga sudah memiliki segalanya (Istri
yang cantik, anak yang kuat serta negeri yang mashur), tapi dia masih memiliki cita-cita
mulia, yakni mencari kesempurnaan diri.
Kesempurnaan
tersebut tidak akan dia dapatkan tanpa terlebih dahulu melakukan pendalaman
terhadap dirinya sendiri. Berapapun jumlah musuh yang sudah dikalahkan, Bima
tidak akan pernah menemukan jati dirinya tanpa dia menyelam ke kedalaman
dirinya. Memahami tahap demi tahap untuk mencari kesempurnaan apa yang
diinginkan diri, atau bisa disebut kesejatian.
Oleh
karenanya, Bima pun menghadap gurunya, Resi Durna. Lantas, sang guru pun
menyuruh Bima mencari Ngelmu Sangkan Paraning Dumadi (Ilmu Asal
Kejadian, Ilmu Ketuhanan). Namun, sebelum itu, Bima harus mencari simbol Ilmu
Ketuhanan (Kayu Gung Susubing) serta Air Kehidupan (Tirta Pawitrasari
atau Perwita Suci) terlebih dahulu. Mendengar perintah tersebut, lalu
bergegaslah Bima ke sebuah sumur tua yang berada di Gua Durangga, sumur yang
terkenal angker dan siapapun yang memasuki kawasan tersebut bisa dipastikan tidak
akan kembali. Di sumur tua itu, Bima di hadang oleh seekor Naga sakti, dan
dengan sigapnya Bima dapat mengatasinya tanpa terluka sedikitpun. Kemudian, Bima
bertanya-tanya mengenai dimanakah letak ilmu yang dimaksud oleh gurunya.
Setelah berapa
lama, Bima baru manyadari bahwa sumur tersebut hanyalah sebuah ibarat mengenai suatu
kegelapan, kefanaan, yang pertama harus dihadapi. Sedangkan Naga adalah simbol
nafsu amarah, kedengkian, serta kejahatan pada diri Bima. Hal ini melambangkan
bahwa ketika manusia berada dalam suatu kegelapan dan kefanaan, dia tidak boleh
terlena dan terjun dalam kefanaan tersebut. Dia harus mencari titik terang
dengan cara mengalahkan amarahnya sendiri.
Seseorang tidak
akan dapat keluar dari belenggu kegelapan tanpa terlebih dahulu Intropeksi diri
dan menghadapi angkara yang muncul pada dirinya sendiri. Jika dalam hal ini
seseorang terlena dalam kefanaan, maka dendam serta perbuatan jahatlah yang
akan dia lakukan. Bima pun mampu memetik pelajaran mengenai apa yang baru saja
dia hadapi.
Setelah
merasa bahwa di sumur tersebut Bima tidak mendapatkannya apa yang diperintahkan
oleh gurunya, lantas dia pergi ke Gunung Chandradimuka. Gunung tersebut juga
terkenal banyak penunggunya, baik jin maupun binatang buas. Bima tidak gentar
dengan hal tersebut, dengan nyali seorang ksatria yang “Pantang mati sebelum
berperang”, Bima bergegas ke gunung tersebut. Disana dia mendapati dua Raksasa
besar, Rukmaka dan Rukmakala. Dengan tekad yang kuat, meskipun harus berperang
mati-matian, Bima pun mampu menghadapinya dengan baik.
Jika
diibaratkan, kedua Raksasa tersebut merupakan cobaan dari luar diri manusia.
Tidak ada suatu kesempurnaan tanpa adanya suatu ujian. Hal tersebut
melambangkan bahwa hanya seseorang yang memiliki tekad kuat dan semangat tinggi
yang dapat mengalahkan godaan yang dapat mencapai cita-cita yang inginkan.
Cobaan yang dimaksud adalah tentang apa yang ada disekitar manusia, tentang
lingkungan. Di dalam mencapai cita-cita, seseorang pasti akan mendapatkan
hambatan, baik dari lingkungannya, maupun saat-saat tersulit meraih cita-cita
tersebut. Akhirnya, Bima juga sadar bahwa hambatan bukan hanya datang dalam
dirinya, namun juga dari apa yang ada disekitarnya.
Setelah
mengetahui bahwa ilmu yang dimaksud gurunya tidak ia dapatkan di Gunung
Chandradimuka, lalu Bima mencarinya ke dasar samudra. Setelah berada di dasar
samudra, Bima menemukan sesosok kecil yang mirip dirinya. Sosok kecil tersebut
meminta Bima untuk masuk ke dalam telinganya, hal yang sangat tidak mungkin
karena ukuran tubuh Bima yang sangat besar. Setelah berdialog panjang dengan
sosok kecil tersebut, Bima lantas menurutinya, dan apa yang dia dapatkan?
Setelah keluar dari tubuh sosok kecil tersebut, Bima yang biasanya menggunakan
bahasa ngoko (bahasa kasar) menjadi berbahasa krama (bahasa sopan).
Lantas apa
yang dapat dipetik dari pencarian Bima di dasar samudra tersebut? Sosok kecil
tersebut diibaratkan seperti jati dirinya sendiri, yang mana apapun yang akan
dicari oleh manusia hanya dapat ditemukan dalam kedalaman dirinya sendiri.
Samudra diibaratkan seperti kesadaran terdalam seseorang. Dan berapapun ilmu
yang dicari, serta kekuatan yang diinginkan tidak akan dapat ditemukan
tanpa menggunakan hatinya yang terdalam.
Baik nafsu, cita-cita, cinta, ilmu apapun itu, tidak akan sempurna tanpa seseorang
menggunakan pertimbangan nurani. Hal tersebut melambangkan bahwa kesempurnaan
seseorang bisa diperoleh ketika dirinya memang sudah merasa cukup dalam
dirinya. Hal itu yang membuatnya tenang dengan apa yang telah dia dapatkan.
Jogja,
20 Januari 2018
*Saat
hening, rinai pagi Jogja, petuah dari lorong keteladanan