Maya

Maya
Who am I.?

Senin, 04 Mei 2015

Film Mengkontruksi Haluan Pemikiran masyarakat
First Love (A Little Thing Called Love) atau  lebih di kenal dengan Crazy Little Thing Called Love merupakan film yang di tulis sekaligus sutradarai oleh Puttipong Pormsaka Na-Sakonnakorn Wasin Pokpong. Film yang berasal dari negeri Gajah Putih (Thailand) ini di gawangi oleh  Somsak Tejcharattanaprasert Panya Nirankol sebagai produser. Dalam film ini, di bintangi oleh Mario Maurer sebagai Khun Nam dan Pimchanok Luevisadpaibul sebagai Khun Shone.
Dalam film ini, di gambarkan bahwa Nam adalah sosok remaja perempuan yang tidak di inginkan oleh para remaja, yang mana Nam ini tidak pintar, penampilannya juga tidak menarik sama sekali. Kaum minoritas agaknya menjadi bagian dari hidup Nam, yang mana bila di lihat dari fisiknya Nam ini adalah seorang yang berkacamata kuno, memiliki kulit gelap serta rambut yang tidak terawat, di tambah lagi Nam memakai kawat gigi yang justru bukannya memperbaiki nilai dirinya justru malah membuatnya tersingkirkan.
Sedangkan Shone adalah seorang laki-laki yang menjadi dambaan semua wanita. Shone merupakan kakak kelas Nam yang mempunyai wajah tampan, sangat populer dan sangat di kenal oleh semua. Di sini di ceritakan bahwa Nam (seorang yang tidak menarik sama sekali) jatuh cinta kepada Shone (dambaan semua wanita).
Nam berusaha keras untuk mendekati Shone, mulai dari mengikuti ekstrakulikuler, menjadi seorang mayoret dadakan yang bukan menjadi keahliaan Nam (atas paksaan ibu Iin, guru favorit Nam) sampai berusaha keras agar bisa menjadi ranking satu di kelas. Dalam upayanya mendapatkan seorang Shone, teman-teman Nam membantu Nam agar bisa menjadi cantik namun yang ada malah penampilan Nam menjadi sangat kacau.
Suatu saat Nam terpilih menjadi pemeran utama dalam drama putri salju, dalam drama tersebut Nam di rias oleh kakak kelasnya. Dari situ, Nam berubah menjadi sosok yang sangat cantik, dan mulai banyak yang tertarik dengan perubahan Nam (terutama kaum dam). Dengan adanya perubahan pada diri Nam (menjadi sosok yang menarik) Nam terpilih menjadi Mayor drum band, dan karena kecantikan Nam tersebut teman Shone bernama Top  juga menyukai Nam.
Shone dan Top sama-sama menyukai Nam, hanya saja Shone tidak terlalu memperlihatkan rasa sukanya, sebaliknya Top yang berani menyatakan rasa sukanya kepada Nam, namun Nam menolak Top. Saat valentine tiba Nam mendapatkan banyak hadiah dari banyak lelaki. Singkat cerita Shone di pindahkan oleh ayahnya ke Bangkok sedangkan Nam pergi ke Amerika karena mendapatkan juara 1. Dan Ending dalam film ini Shone dan Nam bisa di pertemukan kembali dalam sebuah acara talk show di mana Nam menjadi disigner terkenal dan Shone menjadi fotografer yang berhasil.
Analisis Film
“Masyarakat memperhatikan individu hanya sejauh ia menguntungkan”, (Simone de Beauvoir, penulis Prancis. “Tubuh adalah penjara jiwa”, menurut Plato. “Tubuh bisa di anggap sebuah mesin”, ujar Descartes, “Tubuh adalah saya... Saya adalah tubuh”, tandas Sartre, “Tubuh adalah musuh saya,” tegas Beauvoir. Maka melihat kutipan-kutipan di atas dapat di lihat bahwa tubuh adalah penjara jiwa, mesin, diri, bahkan juga musuh. [1]  
Tubuh bisa di belai atau di bunuh, tetapi bisa juga di cintai dan di benci; ia dapat di anggap indah atau jelek, suci atau profan. Dalam tubuh juga terdapat nilai-nilai dari segala yang menyusunnya, juga terdapat nilai simbolik yang mempengaruhi proses sosial yang mana berawal dari ciptaan cara pandang manusia itu sendiri. Masyarakat mengonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya.
Dalam aspek-aspek keadilan dan kesetaraan, sosok Nam merupakan perempuan yang tidak menarik menjadi tersingkirkan. Nam tidak mendapatkan akses dalam memperoleh hak-haknya secara semestinya. Ini dapat di lihat ketika Nam dan kawan-kawannya perempuannya (kaum minoritas) antre ingin membeli minuman, saat Nam sudah ingin mengambilnya tiba-tiba teman laki-lakinya menyerobot antrean. Hal ini menegaskan bahwa akses Nam dan kawan-kawannya mendapat perbedaan. Yang mana seharusnya Nam dan kawan-kawannya mendapatkan kesempatan yang sama dalam memperoleh hak-hak dasar menjadi kaum yang harus mengalah dan tersingkirkan.
Dari film ini di kontruksikan bahwa seorang perempuan itu haruslah cantik untuk bisa mendapatkan sesuatu yang di inginkannya. Kontruksi masyarakat ini memperlihatkan bahwa kaum yang tidak cantik akan terpinggirkan dan bahkan keberadaannya pun akan tidak di butuhkan. Perempuan yang memiliki wajah cantik dan berpenampilan menarik (memiliki wajah putih, rambut indah, tidak berkacamata, tidak berbehel) akan mudah dalam mengakses apa yang dia inginkan.
            Maka apabila seorang perempuan itu ingin mendapatkan apa yang dia inginkan, dia harus menarik dan cantik, dan untuk mendapatkan kecantikan, seorang perempuan haruslah memiliki kulit yang putih, rambut indah, tidak berkacamata, tidak pula berbehel. Hal ini dapat terlihat di mana seorang Nam yang dahulu adalah anak yang tidak cantik dan tidak pula menarik terhalangi dalam mendapatkan akses publik. Dia tidak mendapatkan hak yang seimbang dalam ranah partisipasi perolehan  sumber daya.
Hal ini berbeda ketika Nam merubah diri sekaligus penampilannya (kulit putih, rambutnya terawat, tidak berkacamata, tidak berbehel) seluruh laki-laki otomatis akan tertarik padanya. Dan ketika itu pula, Nam mendapat akses publik yang lebih. Hal ini sama artinya dengan seorang yang memiliki kekuasaan akan mendapatkan perlindungan hukum yang kuat, dan yang lemah sekaligus tidak memiliki kekuasaan akan mudah untuk tertindas. Contoh di Indonesia itu sendiri kita lihat dari kasus anak seorang pejabat yang menabrak seseorang hingga tewas, dia hanya di hukum beberapa bulan saja, sedangkan orang lemah dan rakyat kecil yang hanya mencuri sendal seharga 5000 harus di hukum 5 tahun penjara.
Payung hukum yang tidak seimbang agaknya sudah menjadi rahasia publik yang semua orang mengetahuinya. Dalam film pun juga seperti itu, masyarakat di kontruksikan apabila dia tidak mempunyai kekuasaan, tidak menarik, tidak cantik maka akan tersingkirkan. Pandangan bahwa perempuan harus memiliki wajah cantik, tubuh yang ideal, penuh dengan kemenarikan agaknya harus di rubah. Dalam iklan pun seperti itu, model wanita yang di pakai biasanya adalah wanita cantik, hal ini membuat ketidak seimbangan wanita yang tidak cantik dan tidak menarik akan tersingkirkan.
           



[1] Dre. Alex Sobur, M.Si. Filsafat Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. 2013. Hal 394

Ketegasan Hukum Bagi Koruptor
Budaya korupsi memang sudah menjadi permasalahan yang serius. Faktor dari korupsi itu sendiri awalnya bukan berasal dari individu, akan tetapi sistemlah yang terkadang membuat seseorang terjebak dalam kasus korupsi. Mereka yang sudah terbukti melakukan tindakan korupsi juga bukan orang yang buruk, mereka memiliki karakter yang baik pada awalnya. Namun karena kelonggaran dalam sistem serta kesamaran dalam hukum yang membuat korupsi menjadi sesuatu yang biasa.
Jika ingin menanggulangi kasus korupsi, pertama kali yang di perbaiki bukan orangnya. Akan tetapi rubah sistem dan hukumnya, dari yang awalnya longgar lebih di persempit dengan cara pengadaan hukum yang jelas dan tegas. Negara kita adalah negara hukum, sudah sepatutnya hukum itu lebih di perjelas. Kesamaran hukum membuat seseorang menggampangkan dan mengganggap biasa tindakana korupsi.
            Seperti halnya di negara Singapura dan China yang menerapkan hukuman mati bagi para koruptor. Indonesia bisa mencontoh negara tersebut. Atau bisa juga mencontoh hukum potong tangan seperti di Arab Saudi. Dengan penegasan hukum yang jelas ini lah, akan membuat seseorang berpikir ulang jika ingin melakukan korupsi. Dan penggadaan hukuman mati atau potong tangan inilah yang akan membuat jera bagi palaku korupsi.
            Dengan pengadaan hukum yang tegas orang pasti akan takut jika akan melakukan korupsi, dan korupsi di negeri ini dapat di perkecil. Setelah itu Indonesia akan menjadi negara yang sejahtera karena bersih dari korupsi. Dan rakyat akan merasa bangga karena pemerintahnya memiliki sikap yang tegas dalam menangani permasalahan hukum di negeri ini.



Tulisan sempat terbit di "Minggu Pagi Kr"



Pluralisme antar Agama
Kemajemukan adalah suatu ciri khas bangsa Indonesia. Negara Indonesia dengan segala yang melatarbelakanginya, baik itu perbedaan kultur, etnis, ras maupun agama. Harusnya menjadikan bangsa ini lebih berwarna dan saling mengembangkan sikap saling hormat-menghormati antar sesama. Masalah utama saat ini adalah kemajemukan di jadikan pilar utama dalam perpecahan, bukannya menjadikan hiasan dan harta berharga suatu bangsa, namun malah menjadikan faktor utama terpecah belahnya bangsa.
Dalam sila pertama pancasila di sebutkan “Ketuhanan yang Maha Esa”. Di sini dapat di lihat bahwa dalam negara Indonesia tidak memaksakan satu agama saja, melainkan semua orang berhak menentukan agama mana yang dia pilih dan di yakini. Pertanyaannya mengapa perumusan pancasila yang dulunya berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya diganti hanya dengan menggunakan kata Ketuhanan yang Maha Esa? Hal ini karena masyarakat indonesia sendiri tidak hanya menganut satu agama saja, melainkan banyak agama yang berkembang di Indonesia.
Dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat 1 juga di sebutkan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Juga dalam Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Tak ada paksaan dalam masalah pemelukan agama, memaksakan agama kepada seseorang merupakan sebuah kemunafikan. Untuk masalah ideologi dan kepercayaan terhadap Tuhan, merupakan masalah serta hak setiap individu..
            Perpecahan dalam bangsa ini sering di sebut-sebut karena suatu masalah agama. Namun di sisi lain masalah agama yang sering di sebutkan sebagai masalah utama perpecahan hanyalah suatu tameng  bagi kekuasaan dan politik semata. Apabila suatu umat sudah mengetahui tentang esensi agama masing-masing yang di dalamnya memberikan suatu pembelajaran untuk saling toleransi terhadap semua orang dengan segala perbedaanya.

Untuk itu, dalam menyikapi pluralisme agama yang biasa di jadikan bahan utama dalam perpecahan sebaiknya di tinjau ulang. Bukan agama mana yang benar, bukan agama mana yang salah, melainkan bagaimana cara kita menjalankan agama kita dengan sebaik-baiknya. Banyaknya oknum yang menyalah gunakan nama agama sebagai tameng ingin menjadi penguasa juga harus di waspadai. Hal ini demi tercipta masyarakat madani yang damai, tentram serta sejahtera.




Tulisan ini sudah sempat terbit di koran mingguan "Minggu Pagi Kr"