Maya

Maya
Who am I.?

Selasa, 05 Juni 2018


Memfeodalkan Diri Sendiri
(Sikap Kaum Muda yang tak jauh beda dengan Kaum Tua sebelum Mereka)

“Sesungguhnya, manusia hidup harus mengerti tentang keduaan. Manusia harus menuju titik gelap, untuk mengerti cahaya. Manusia harus mengerti lapar, untuk mengenali kenyang. Untuk memahami kebenaran, harus mengerti kesalahan.”

          Kaum pelajar. Kaum pelajar sesungguhnya telah mengerti menyoal tentang tehnik dan metode maupun terapan apapun yang ada di masyarakat. Mereka banyak mempelajari tentang ilmu, baik politik, agama, norma, budaya, sejarah dan yang lainnya. Namun, diantara pelajar-pelajar tersebut, hanya sedikit yang sampai pada titik kesadaran. Diantara yang sadar tersebut, sedikit pula yang mau melakukan perubahan. Kemudian diantara yang mau melakukan perubahan, sedikit pula yang konsisten terhadap apa yang sudah mereka pelajari, kebanyakan mereka lemah dalam stamina juang.

          Sudah banyak kiranya kita dapati, seorang pelajar yang pandai dan mumpuni bersua soal politik, sejarah, budaya yang mengakar dalam masyarakat. Salah satunya tentang budaya feodal, mentuhankan manusia lainnya dengan tetek-bengek, iming-iming kekuasaan, tentang darah, tentang tahta, bahkan tentang pembagian hukum antara yang tua dan muda. Tentang kualitas siapa saja yang lebih kaya, berumur,  berkuasa, segala hal yang diangap meletakan seseorang atau suatu kelompok pada tinggi derajat dibanding yang lain. Sesungguhnya, yang ada tinggi rendah hanya terletak pada nilai, bukan pada siapa manusia itu. Semua manusia pada hakekatnya sama.

          Sesuatu yang sungguh sangat ironi, ilmu yang telah dipelajari dan dieluh-eluhkan manakala dia sedang berada di Perguruan Tinggi pada akhirnya akan dihianati pula. Kebanyakan dari sedikit kaum pelajar yang sadar akan, (semisal budaya feodal) yang dulu mereka perangi pada akhinya dia akan menyerah pasrah pada hukum alam yang sudah mendarah daging di masyarakat. Tentang kebutuhan yang tua harus menghormati yang muda, yang muda tidak boleh membangkang tentang tata serta skat atas kemudaan mereka terhadap yang tua. Yang tua harus dijunjung dan tidak boleh dilawan sedikitpun.

          Benih-benih mendewaan terhadap kaum tua tersebut sesungguhnya sudah terjadi dalam tingkat yang paling rendah disekitaran kaum pelajar. Kita sebut saja dalam ruang organisasi. Di dalam ruang tersebut, sebelum kaum pelajar baru ikut keanggotaan, pasti sudah terdapat kaum pelajar lama. Sebelum kaum pelajar muda, tentu ada kaum pelajar tua. Sebelum adanya kaum muda junior (sebuah istilah), pasti akan ada kaum pelajar senior. Dan senior-senior tersebut dari awal memang sudah punya niat untuk di dewakan. Bahkan, pada saat masa orientasi pertama, mereka tidak ubahnya dari Tuhan, bahwa adanya hukum senior tidak pernah salah. Jika mereka salah akan kembali ke awal, bahwa senior tidak pernah mau disalahkan dan tak pernah salah.

          Apa sebab kaum pelajar tersebut ikut arus, larut bahkan nantinya akan menjadi pejuang kefeodalan selanjutnya? Mereka tidak tahan akan ideologi yang dianut. Pada akhirnya, mereka hanya akan menjadi suatu penunggu. Mengunggu yang tua mati untuk ganti menduduki kursi, tidak ada perubahan. Tidak lebih, dia nantinya juga akan menjadi kaum yang membuntukan pikiran kaum muda berikutnya (mereka akan menjadi pelaku pengkesetan terhadap kaum muda setelah mereka). Mereka juga akan ganti minta dijunjung seperti kaum tua sebelum mereka.

          Jika kita meminjam apa yang sudah di tulis oleh Emha Ainun Nadjib, buku Arus Balik (2015), telah dijelaskan apa sebab menghilangnya dan ikut larutnya sedikit kaum terpelajar yang sadar akan keadaan dalam masyarakat tadi.

          Pertama, tentang kebusukan yang ada dimasyarakat memang sudah mencapai pada titik paling busuk, mereka tidak sanggup lagi untuk membenarkan.

          Kedua, masyarakat memang sudah bahagia dan sejahtera (dalam arti sesungguhnya) sehingga memang tidak diperlukan lagi adanya kesadaran apapun.

          Ketiga, tentang adanya kesemuan dalam keselarasan (Pseudoharmoni). Pseudoharmoni ini sangatlah halus, mereka sudah merasa selaras padahal pada hakekatnya terdapat penghianatan dibelakang punggung mereka.

          Keempat, adalah sebuah titik yang sangat banyak dijumpai, hilangnya kepercayaan diri kaum pelajar untuk pembebasan. Tidak ada sedikit dari kaum pelajar yang sadar tersebut yang berani maju, menjadi pahlawan pembebasan, sehingga sikap yang akan mereka lakukan adalah sinis.


Minggu, 21 Januari 2018

Perjalanan Spiritual
(Menyoal Cita dari Ksatria Bima)

“Memaknai hidup bukan manakala perut kita hidup, namun juga pada saat apa yang ada diotak kita, yang ada di hati kita serta apa yang ada disekitar kita turut merasakan kehidupan.”

            Ujian!  Dan sesungguhnya ujian itu ada bukan pada saat kita dihadapi oleh masalah. Melainkan manakala kita berada dalam titik kenyamanan (titik yang membuat kita terlena, berhenti sejenak). Dalam titik kenyamanan tersebut kadang membuat seseorang telat berpikir serta stagnan dalam mengejar apa yang diidamkan dalam hidup. Nyaman membuat seseorang malas berpikir mengenai langkah apa yang akan dia lakukan berikutnya..
            Sejalan dengan hal tersebut, dapat kiranya kita berkaca pada diri seorang Bima, ksatria dari negeri Ngamarta, negeri yang terkenal Gemah Ripah Loh Jinawi (subur makmur tak kurang apapun). Kenyamanan saat berada di negerinya, serta tentang apa yang telah dimilikinya tidak lantas membuat Bima berhenti bercita-cita. Jika dilihat, Bima adalah seorang ksatria yang sudah sakti mandraguna, memiliki banyak ajimat, Kuku Pancanaka, Aji Bandung Bandawasa, Aji Ngungkal Bener. serta Aji Blabak Pangantol-Antol. Dia juga sudah memiliki segalanya (Istri yang cantik, anak yang kuat serta negeri yang mashur), tapi dia masih memiliki cita-cita mulia, yakni mencari kesempurnaan diri.
            Kesempurnaan tersebut tidak akan dia dapatkan tanpa terlebih dahulu melakukan pendalaman terhadap dirinya sendiri. Berapapun jumlah musuh yang sudah dikalahkan, Bima tidak akan pernah menemukan jati dirinya tanpa dia menyelam ke kedalaman dirinya. Memahami tahap demi tahap untuk mencari kesempurnaan apa yang diinginkan diri, atau bisa disebut kesejatian.
            Oleh karenanya, Bima pun menghadap gurunya, Resi Durna. Lantas, sang guru pun menyuruh Bima mencari Ngelmu Sangkan Paraning Dumadi (Ilmu Asal Kejadian, Ilmu Ketuhanan). Namun, sebelum itu, Bima harus mencari simbol Ilmu Ketuhanan (Kayu Gung Susubing) serta Air Kehidupan (Tirta Pawitrasari atau Perwita Suci) terlebih dahulu. Mendengar perintah tersebut, lalu bergegaslah Bima ke sebuah sumur tua yang berada di Gua Durangga, sumur yang terkenal angker dan siapapun yang memasuki kawasan tersebut bisa dipastikan tidak akan kembali. Di sumur tua itu, Bima di hadang oleh seekor Naga sakti, dan dengan sigapnya Bima dapat mengatasinya tanpa terluka sedikitpun. Kemudian, Bima bertanya-tanya mengenai dimanakah letak ilmu yang dimaksud oleh gurunya.  
            Setelah berapa lama, Bima baru manyadari bahwa sumur tersebut hanyalah sebuah ibarat mengenai suatu kegelapan, kefanaan, yang pertama harus dihadapi. Sedangkan Naga adalah simbol nafsu amarah, kedengkian, serta kejahatan pada diri Bima. Hal ini melambangkan bahwa ketika manusia berada dalam suatu kegelapan dan kefanaan, dia tidak boleh terlena dan terjun dalam kefanaan tersebut. Dia harus mencari titik terang dengan cara mengalahkan amarahnya sendiri.
            Seseorang tidak akan dapat keluar dari belenggu kegelapan tanpa terlebih dahulu Intropeksi diri dan menghadapi angkara yang muncul pada dirinya sendiri. Jika dalam hal ini seseorang terlena dalam kefanaan, maka dendam serta perbuatan jahatlah yang akan dia lakukan. Bima pun mampu memetik pelajaran mengenai apa yang baru saja dia hadapi.
            Setelah merasa bahwa di sumur tersebut Bima tidak mendapatkannya apa yang diperintahkan oleh gurunya, lantas dia pergi ke Gunung Chandradimuka. Gunung tersebut juga terkenal banyak penunggunya, baik jin maupun binatang buas. Bima tidak gentar dengan hal tersebut, dengan nyali seorang ksatria yang “Pantang mati sebelum berperang”, Bima bergegas ke gunung tersebut. Disana dia mendapati dua Raksasa besar, Rukmaka dan Rukmakala. Dengan tekad yang kuat, meskipun harus berperang mati-matian, Bima pun mampu menghadapinya dengan baik.
            Jika diibaratkan, kedua Raksasa tersebut merupakan cobaan dari luar diri manusia. Tidak ada suatu kesempurnaan tanpa adanya suatu ujian. Hal tersebut melambangkan bahwa hanya seseorang yang memiliki tekad kuat dan semangat tinggi yang dapat mengalahkan godaan yang dapat mencapai cita-cita yang inginkan. Cobaan yang dimaksud adalah tentang apa yang ada disekitar manusia, tentang lingkungan. Di dalam mencapai cita-cita, seseorang pasti akan mendapatkan hambatan, baik dari lingkungannya, maupun saat-saat tersulit meraih cita-cita tersebut. Akhirnya, Bima juga sadar bahwa hambatan bukan hanya datang dalam dirinya, namun juga dari apa yang ada disekitarnya.
            Setelah mengetahui bahwa ilmu yang dimaksud gurunya tidak ia dapatkan di Gunung Chandradimuka, lalu Bima mencarinya ke dasar samudra. Setelah berada di dasar samudra, Bima menemukan sesosok kecil yang mirip dirinya. Sosok kecil tersebut meminta Bima untuk masuk ke dalam telinganya, hal yang sangat tidak mungkin karena ukuran tubuh Bima yang sangat besar. Setelah berdialog panjang dengan sosok kecil tersebut, Bima lantas menurutinya, dan apa yang dia dapatkan? Setelah keluar dari tubuh sosok kecil tersebut, Bima yang biasanya menggunakan bahasa ngoko (bahasa kasar) menjadi berbahasa krama (bahasa sopan).
            Lantas apa yang dapat dipetik dari pencarian Bima di dasar samudra tersebut? Sosok kecil tersebut diibaratkan seperti jati dirinya sendiri, yang mana apapun yang akan dicari oleh manusia hanya dapat ditemukan dalam kedalaman dirinya sendiri. Samudra diibaratkan seperti kesadaran terdalam seseorang. Dan berapapun ilmu yang dicari, serta kekuatan yang diinginkan tidak akan dapat ditemukan tanpa  menggunakan hatinya yang terdalam. Baik nafsu, cita-cita, cinta, ilmu apapun itu, tidak akan sempurna tanpa seseorang menggunakan pertimbangan nurani. Hal tersebut melambangkan bahwa kesempurnaan seseorang bisa diperoleh ketika dirinya memang sudah merasa cukup dalam dirinya. Hal itu yang membuatnya tenang dengan apa yang telah dia dapatkan.
     

Jogja, 20 Januari 2018

*Saat hening, rinai pagi Jogja, petuah dari lorong keteladanan

Kamis, 06 Agustus 2015

Mahasiswa sebagai Agen Perubahan

Beban akademik yang harus di penuhi secepat dan semaksimal mungkin membuat mahasiswa di hadapkan terhadap dua pilihan, antara memilih mengerjakan tugas yang di bebankan atau melakukan kegiatan sosial yang dapat mengganggu aktifitasnya di ranah akademik. Mulai dari tuntutan masuk harus berapa persen sampai dengan mengerjakan tugas yang cukup banyak.
Terkadang tuntutan akademik mengharuskan mahasiswa untuk mengambil keputusan secepat-cepatnya antara memilih menyelesaikan tugas yang menjadi keharusan untuk segera di kumpulkan atau memilih melakukan kegiatan sosial dalam waktu yang bersamaan. Alasan beban akademik yang sangat padat inilah yang menjadi pembatas tangan mahasiswa untuk melakukan suatu kepedulian sosial, dan mahasiswa akan terlihat acuh pada lingkungannya.
Bagi mahasiswa semester awal, mempertahankan nilai dan mengerjakan tugas merupakan prioritas utama dalam kesehariannya. Mereka akan beralasan banyak tugas serta harus masuk kuliah apabila di ajak untuk melakukan kegiatan sosial. Di sini terjadi ketidak sesuaian karena slogan mahasiswa adalah “Mahasiswa adalah agen perubahan”. seharusnya slogan itulah yang membuat mahasiswa bersemangat untuk merubah lingkungannya.
Aktifitas sosial harus tetap di jalankan meskipun deadline tugas menumpuk. Oleh karenanya, sebagai mahasiswa haruslah pandai dalam mengatur waktu agar tidak tetap bisa mengerjakan tugas dengan baik serta berperan aktif dalam masyarakat. Karena mahasiswa adalah pembaharu dalam masyarakat, untuk itu di perbaharui dulu pola pemikirannya untuk bisa berperan aktif dalam masyarakat.


Di muat di Koran Minggu Pagi


Senin, 04 Mei 2015

Film Mengkontruksi Haluan Pemikiran masyarakat
First Love (A Little Thing Called Love) atau  lebih di kenal dengan Crazy Little Thing Called Love merupakan film yang di tulis sekaligus sutradarai oleh Puttipong Pormsaka Na-Sakonnakorn Wasin Pokpong. Film yang berasal dari negeri Gajah Putih (Thailand) ini di gawangi oleh  Somsak Tejcharattanaprasert Panya Nirankol sebagai produser. Dalam film ini, di bintangi oleh Mario Maurer sebagai Khun Nam dan Pimchanok Luevisadpaibul sebagai Khun Shone.
Dalam film ini, di gambarkan bahwa Nam adalah sosok remaja perempuan yang tidak di inginkan oleh para remaja, yang mana Nam ini tidak pintar, penampilannya juga tidak menarik sama sekali. Kaum minoritas agaknya menjadi bagian dari hidup Nam, yang mana bila di lihat dari fisiknya Nam ini adalah seorang yang berkacamata kuno, memiliki kulit gelap serta rambut yang tidak terawat, di tambah lagi Nam memakai kawat gigi yang justru bukannya memperbaiki nilai dirinya justru malah membuatnya tersingkirkan.
Sedangkan Shone adalah seorang laki-laki yang menjadi dambaan semua wanita. Shone merupakan kakak kelas Nam yang mempunyai wajah tampan, sangat populer dan sangat di kenal oleh semua. Di sini di ceritakan bahwa Nam (seorang yang tidak menarik sama sekali) jatuh cinta kepada Shone (dambaan semua wanita).
Nam berusaha keras untuk mendekati Shone, mulai dari mengikuti ekstrakulikuler, menjadi seorang mayoret dadakan yang bukan menjadi keahliaan Nam (atas paksaan ibu Iin, guru favorit Nam) sampai berusaha keras agar bisa menjadi ranking satu di kelas. Dalam upayanya mendapatkan seorang Shone, teman-teman Nam membantu Nam agar bisa menjadi cantik namun yang ada malah penampilan Nam menjadi sangat kacau.
Suatu saat Nam terpilih menjadi pemeran utama dalam drama putri salju, dalam drama tersebut Nam di rias oleh kakak kelasnya. Dari situ, Nam berubah menjadi sosok yang sangat cantik, dan mulai banyak yang tertarik dengan perubahan Nam (terutama kaum dam). Dengan adanya perubahan pada diri Nam (menjadi sosok yang menarik) Nam terpilih menjadi Mayor drum band, dan karena kecantikan Nam tersebut teman Shone bernama Top  juga menyukai Nam.
Shone dan Top sama-sama menyukai Nam, hanya saja Shone tidak terlalu memperlihatkan rasa sukanya, sebaliknya Top yang berani menyatakan rasa sukanya kepada Nam, namun Nam menolak Top. Saat valentine tiba Nam mendapatkan banyak hadiah dari banyak lelaki. Singkat cerita Shone di pindahkan oleh ayahnya ke Bangkok sedangkan Nam pergi ke Amerika karena mendapatkan juara 1. Dan Ending dalam film ini Shone dan Nam bisa di pertemukan kembali dalam sebuah acara talk show di mana Nam menjadi disigner terkenal dan Shone menjadi fotografer yang berhasil.
Analisis Film
“Masyarakat memperhatikan individu hanya sejauh ia menguntungkan”, (Simone de Beauvoir, penulis Prancis. “Tubuh adalah penjara jiwa”, menurut Plato. “Tubuh bisa di anggap sebuah mesin”, ujar Descartes, “Tubuh adalah saya... Saya adalah tubuh”, tandas Sartre, “Tubuh adalah musuh saya,” tegas Beauvoir. Maka melihat kutipan-kutipan di atas dapat di lihat bahwa tubuh adalah penjara jiwa, mesin, diri, bahkan juga musuh. [1]  
Tubuh bisa di belai atau di bunuh, tetapi bisa juga di cintai dan di benci; ia dapat di anggap indah atau jelek, suci atau profan. Dalam tubuh juga terdapat nilai-nilai dari segala yang menyusunnya, juga terdapat nilai simbolik yang mempengaruhi proses sosial yang mana berawal dari ciptaan cara pandang manusia itu sendiri. Masyarakat mengonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya.
Dalam aspek-aspek keadilan dan kesetaraan, sosok Nam merupakan perempuan yang tidak menarik menjadi tersingkirkan. Nam tidak mendapatkan akses dalam memperoleh hak-haknya secara semestinya. Ini dapat di lihat ketika Nam dan kawan-kawannya perempuannya (kaum minoritas) antre ingin membeli minuman, saat Nam sudah ingin mengambilnya tiba-tiba teman laki-lakinya menyerobot antrean. Hal ini menegaskan bahwa akses Nam dan kawan-kawannya mendapat perbedaan. Yang mana seharusnya Nam dan kawan-kawannya mendapatkan kesempatan yang sama dalam memperoleh hak-hak dasar menjadi kaum yang harus mengalah dan tersingkirkan.
Dari film ini di kontruksikan bahwa seorang perempuan itu haruslah cantik untuk bisa mendapatkan sesuatu yang di inginkannya. Kontruksi masyarakat ini memperlihatkan bahwa kaum yang tidak cantik akan terpinggirkan dan bahkan keberadaannya pun akan tidak di butuhkan. Perempuan yang memiliki wajah cantik dan berpenampilan menarik (memiliki wajah putih, rambut indah, tidak berkacamata, tidak berbehel) akan mudah dalam mengakses apa yang dia inginkan.
            Maka apabila seorang perempuan itu ingin mendapatkan apa yang dia inginkan, dia harus menarik dan cantik, dan untuk mendapatkan kecantikan, seorang perempuan haruslah memiliki kulit yang putih, rambut indah, tidak berkacamata, tidak pula berbehel. Hal ini dapat terlihat di mana seorang Nam yang dahulu adalah anak yang tidak cantik dan tidak pula menarik terhalangi dalam mendapatkan akses publik. Dia tidak mendapatkan hak yang seimbang dalam ranah partisipasi perolehan  sumber daya.
Hal ini berbeda ketika Nam merubah diri sekaligus penampilannya (kulit putih, rambutnya terawat, tidak berkacamata, tidak berbehel) seluruh laki-laki otomatis akan tertarik padanya. Dan ketika itu pula, Nam mendapat akses publik yang lebih. Hal ini sama artinya dengan seorang yang memiliki kekuasaan akan mendapatkan perlindungan hukum yang kuat, dan yang lemah sekaligus tidak memiliki kekuasaan akan mudah untuk tertindas. Contoh di Indonesia itu sendiri kita lihat dari kasus anak seorang pejabat yang menabrak seseorang hingga tewas, dia hanya di hukum beberapa bulan saja, sedangkan orang lemah dan rakyat kecil yang hanya mencuri sendal seharga 5000 harus di hukum 5 tahun penjara.
Payung hukum yang tidak seimbang agaknya sudah menjadi rahasia publik yang semua orang mengetahuinya. Dalam film pun juga seperti itu, masyarakat di kontruksikan apabila dia tidak mempunyai kekuasaan, tidak menarik, tidak cantik maka akan tersingkirkan. Pandangan bahwa perempuan harus memiliki wajah cantik, tubuh yang ideal, penuh dengan kemenarikan agaknya harus di rubah. Dalam iklan pun seperti itu, model wanita yang di pakai biasanya adalah wanita cantik, hal ini membuat ketidak seimbangan wanita yang tidak cantik dan tidak menarik akan tersingkirkan.
           



[1] Dre. Alex Sobur, M.Si. Filsafat Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. 2013. Hal 394

Ketegasan Hukum Bagi Koruptor
Budaya korupsi memang sudah menjadi permasalahan yang serius. Faktor dari korupsi itu sendiri awalnya bukan berasal dari individu, akan tetapi sistemlah yang terkadang membuat seseorang terjebak dalam kasus korupsi. Mereka yang sudah terbukti melakukan tindakan korupsi juga bukan orang yang buruk, mereka memiliki karakter yang baik pada awalnya. Namun karena kelonggaran dalam sistem serta kesamaran dalam hukum yang membuat korupsi menjadi sesuatu yang biasa.
Jika ingin menanggulangi kasus korupsi, pertama kali yang di perbaiki bukan orangnya. Akan tetapi rubah sistem dan hukumnya, dari yang awalnya longgar lebih di persempit dengan cara pengadaan hukum yang jelas dan tegas. Negara kita adalah negara hukum, sudah sepatutnya hukum itu lebih di perjelas. Kesamaran hukum membuat seseorang menggampangkan dan mengganggap biasa tindakana korupsi.
            Seperti halnya di negara Singapura dan China yang menerapkan hukuman mati bagi para koruptor. Indonesia bisa mencontoh negara tersebut. Atau bisa juga mencontoh hukum potong tangan seperti di Arab Saudi. Dengan penegasan hukum yang jelas ini lah, akan membuat seseorang berpikir ulang jika ingin melakukan korupsi. Dan penggadaan hukuman mati atau potong tangan inilah yang akan membuat jera bagi palaku korupsi.
            Dengan pengadaan hukum yang tegas orang pasti akan takut jika akan melakukan korupsi, dan korupsi di negeri ini dapat di perkecil. Setelah itu Indonesia akan menjadi negara yang sejahtera karena bersih dari korupsi. Dan rakyat akan merasa bangga karena pemerintahnya memiliki sikap yang tegas dalam menangani permasalahan hukum di negeri ini.



Tulisan sempat terbit di "Minggu Pagi Kr"



Pluralisme antar Agama
Kemajemukan adalah suatu ciri khas bangsa Indonesia. Negara Indonesia dengan segala yang melatarbelakanginya, baik itu perbedaan kultur, etnis, ras maupun agama. Harusnya menjadikan bangsa ini lebih berwarna dan saling mengembangkan sikap saling hormat-menghormati antar sesama. Masalah utama saat ini adalah kemajemukan di jadikan pilar utama dalam perpecahan, bukannya menjadikan hiasan dan harta berharga suatu bangsa, namun malah menjadikan faktor utama terpecah belahnya bangsa.
Dalam sila pertama pancasila di sebutkan “Ketuhanan yang Maha Esa”. Di sini dapat di lihat bahwa dalam negara Indonesia tidak memaksakan satu agama saja, melainkan semua orang berhak menentukan agama mana yang dia pilih dan di yakini. Pertanyaannya mengapa perumusan pancasila yang dulunya berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya diganti hanya dengan menggunakan kata Ketuhanan yang Maha Esa? Hal ini karena masyarakat indonesia sendiri tidak hanya menganut satu agama saja, melainkan banyak agama yang berkembang di Indonesia.
Dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat 1 juga di sebutkan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Juga dalam Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Tak ada paksaan dalam masalah pemelukan agama, memaksakan agama kepada seseorang merupakan sebuah kemunafikan. Untuk masalah ideologi dan kepercayaan terhadap Tuhan, merupakan masalah serta hak setiap individu..
            Perpecahan dalam bangsa ini sering di sebut-sebut karena suatu masalah agama. Namun di sisi lain masalah agama yang sering di sebutkan sebagai masalah utama perpecahan hanyalah suatu tameng  bagi kekuasaan dan politik semata. Apabila suatu umat sudah mengetahui tentang esensi agama masing-masing yang di dalamnya memberikan suatu pembelajaran untuk saling toleransi terhadap semua orang dengan segala perbedaanya.

Untuk itu, dalam menyikapi pluralisme agama yang biasa di jadikan bahan utama dalam perpecahan sebaiknya di tinjau ulang. Bukan agama mana yang benar, bukan agama mana yang salah, melainkan bagaimana cara kita menjalankan agama kita dengan sebaik-baiknya. Banyaknya oknum yang menyalah gunakan nama agama sebagai tameng ingin menjadi penguasa juga harus di waspadai. Hal ini demi tercipta masyarakat madani yang damai, tentram serta sejahtera.




Tulisan ini sudah sempat terbit di koran mingguan "Minggu Pagi Kr"


Kamis, 08 Januari 2015

Implementasi Etika kepada Orang Tua

Peran orang tua serta orang terdekat sangat berpengaruh terhadap perilaku seorang anak. Ada peribahasa yang mengatakan bahwa buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Yang di dalam peribahasa tersebut tergambarkan bahwa seorang anak akan meniru apa yang di lakukan serta di ajarkan orang tuanya. Apabila orang tua mengajarkan suatu keburukan, maka anak juga akan cenderung melakukan hal yang tak jauh dari apa yang di lakukan orang tuanya.
Orang tua merupakan guru pertama bagi anak. Dan sudah seyogyanya seorang guru itu mengajarkan suatu kebaikan yang tentunya akan di tirukan oleh seorang anak. Apa jadinya apabila seorang guru itu tidak memberikan teladan yang baik bagi anak, bisa di katakan juga apabila gurunya buruk maka muridnya akan jauh lebih buruk, seperti halnya peribahasa guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Hal itu bisa di artikan bahwasanya apabila seorang guru mengajarkan keburukan maka muridnya akan melakukan hal buruk melebihi yang di ajarkan gurunya.
Dalam kehidupan sehari-hari, orang terdekat bagi anak adalah orang tua. Orang tua di harapkan bisa sekaligus menjadi teman yang bisa membuat anak nyaman serta anak akan terbiasa mengadukan apa yang di alaminya kepada orang tuanya. Apabila orang tua bisa merangkap posisi teman sekaligus bagi anak, maka akan di pastikan si anak tersebut akan merasa mempunyai tempat bersandar yang baik.
Distorsi yang terjadi sekarang ialah, seorang anak yang menempatkan orang tuanya tidak sesuai dengan yang seharusnya. Anak-anak jaman sekarang terbiasa menggunakan bahasa yang terkesan kurang sopan terhadap orang tua. Dalam hal ini ada ketidak sesuaian penempatan posisi. Memang benar orang tua bisa di jadikan teman untuk bercerita serta menuangkan segala keluh kesah. Akan tetapi, teman di sini juga harus bisa di bedakan dalam hal memilih kata-kata serta etika berbicara kepada orang tua. Seorang anak di haruskan untuk menggunakan bahasa yang paling halus saat berbicara kepada orang tua.
Dalam budaya jawa, pemilihan kata saat berbicara kepada orang tua menempati posisi paling atas, yakni menggunakan bahasa “Kromo Inggil”. Masyarakat jawa menempatkan status orang tua sebagai orang yang paling layak untuk di hormati. Seorang anak sudah selayaknya menghormati serta berbakti kepada orang tua. Karena orang tualah yang paling berhak mendapatkan posisi teratas. Hal ini di karenakan karena jasa dan pengorbanannya yang tidak dapat di tukar dengan hal apapun.
            Yang paling menjadi kecemasan di era kontemporer saat ini adalah seorang anak tidak lagi menunjukan penghormatannya. Anak sudah tidak lagi mempunyai etika saat berbicara kepada kedua orang tuanya. Hal inilah yang paling penting di perhatikan dalam kehidupan sehari-hari. Seharusnya kecanggihan tehnologi di jadikan alat untuk mengimplementasikan rasa hormat kepada kedua orang tua. Jangan sampai kecanggihan teknologi menjadi penghalang untuk tidak lagi menaruh hormat kepada orang tua.
            Bentuk-bentuk penghormatan kepada kedua orang tua dapat di implementasikan dengan cara memilih bahasa yang baik kepada keduanya, jangan sampai mengeluarkan kata yang tidak pantas kepada keduanya. Karena sesuatu yang tak dapat di tarik kembali adalah waktu dan perkataan. Oleh karenanya jangan sampai kita mengucapkan perkataan yang dapat menyakiti keduanya. Karena apabila kita sedikit saja menggoreskan luka di hati orang tua kita, maka rasa sakit hati orang tua itulah yang membuat momok yang akan terus menghantui diri kita.

Menghormati serta beretika saat berkomunikasi kepada kedua orang kita sudah sepatutnya di perhatikan. Sebagai anak kita harus mempunyai akhlak yang baik agar orang tua kita bangga memiliki kita. Sebenarnya orang tua tidak pernah menuntut banyak kepada kita, mereka hanya berharap kita menjadi orang yang bermanfaat dan memiliki akhlak yang baik. Karena harta yang paling berharga bagi orang tua yakni memiliki anak yang berhati mulia dan dapat bermanfaat bagi orang sekitarnya. Ada peribahasa “Air susu di balas dengan air tubah”. Jangan sampai kita menjadi anak yang tidak tau terima kasih dan durhaka kepada kedua orang tua kita. Jadikan mereka bangga dengan kita dengan cara berbakti serta selalu mempunyai etika di saat sedang berkomunikasi kepada mereka.